Cari Disini

HUKUMAN

Perasaannya tidak menentu. Pikirannya kemana-mana. Di saat itu, Faris bagaikan dalam dilema. Tidak pasti apa yang harus dia lakukan. Dia tidak berdaya untuk lepas tangan mengenai masalah itu. Dia mesti bertanggungjawab. Hari itu Faris tidak langsung pulang ke rumah. Dia singgah di sebuah warung minuman untuk meneguk secangkir kopi panas. Dia ingin sendiri saat ini jiwanya harus ditenangkan.

Tanpa disadari, seorang kakek tua berjenggot putih datang dengan jalan terbongkok-bongkok lalu duduk semeja dengannya. Kakek tua itu menyapa Faris sambil mengambil air minum. Faris memberikan senyuman ikhlas lalu memandang keadaan sekeliling. Dia dapati, banyak meja lain yang kosong tetapi Kakek tua itu memilih untuk duduk bersamanya. Mungkin Kakek tua ini tidak mau duduk sendirian, bisik hati Faris.

Faris tidak menghiraukan kakek tua itu, malah pikirannya melayang lagi, mengingat kembali peristiwa yang telah terjadi di sekolah siang tadi. Dia tidak yakin dengan masalah yang telah menimpa siswanya, Ahmad. Kemarin, Faris telah menghukum siswa itu dengan merotan kedua tangannya karena didapati mencuri uang teman-temannya. Hari ini, Faris juga menemukan sebungkus rokok di dalam tas Ahmad, tadi pagi Kepala sekolah menyuruh Faris memeriksa semua tas siswa-siswanya karena ada salah seorang siswa yang melaporkan langsung kepada kepala Sekolah bahwa ada salah satu temannya yang membawa sekuntung rokok. Faris tidak memberitahukan kepada kepala sekolah bahwa terdapat sebungkus rokok di dalam tas Ahmad. Faris memang ditugaskan untuk mengajar sekaligus sebagai Pembina OSIS di SMP tersebut, maka ketika ada masalah disekolah ia salah satu guru yang punya kewajiban mengurus masalah tersebut.

Faris ingin bertanya langsung kepada siswanya, Ahmad mengenai masalah itu. Namun Faris juga bingung, apakah dia harus melaporkan siswanya tersebut kepada Kepala Sekolah untuk dihukum atau dia sendiri yang akan menghukum siswa itu. Faris tidak mau nama baik siswa tersebut tercemar karena sebungkus rokok, karena Faris tau persis kalau Ahmad adalah siswa yang berprestasi cemerlang dalam pelajaran bahkan hampir semua pelajaran. Bukan saja dia pintar dalam mata pelajaran TIK namun dia juga selalu memperoleh nilai yang tinggi dalam mata pelajaran yang lain seperti bahasa Inggris, Sains dan Matematika.

Apakah siswa ini tidak ampun-ampunnya dengan hukuman tempo hari sehingga dia melakukan kesalahan lagi? Mengapa siswa ini masih tak mengakui kesalahannya sedangkan bukti-bukti jelas di depan mata? Apa sebenarnya yang diinginkan oleh siswa berumur empat belas tahun ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di benak Faris lalu dia mengeluh.

“Jadi pendidik itu bukan satu tugas yang mudah, Anak Muda,” tiba-tiba kakek tua itu bersuara.

“Apa Kek ?” Faris bertanya karena kurang dengar lantaran dia baru tersentak dari lamunannya.

“Dalam tugas apapun, kalau ada sesuatu atau masalah yang tak masuk akal, yang tak sejalan dengan hati kita, kita harus selidik terlebih dahulu. Tidak baik menghukum atau menuduh secara membabi buta. Inilah kelemahan para pendidik di negara kita. Tak mau meyelidiki dahulu masalah tersebut tetapi lebih suka mendengar perkataan orang lalu membuat andaian dan kemudian menghukum. Ahmad itu anak yang baik dan pintar. Berilah dia dorongan dan bimbingan. Dia akan menjadi salah satu anak yang membanggakan bangsa kita. Janganlah terus percaya akan apa yang kamu lihat dan dengar. Selidikilah dahulu, baru buat sebuah keputusan. Sudah banyak waktu terbuang, berlalu meninggalkan kita tetapi anak bangsa kita yang menjadi pejabat yang jujur belum juga dibanggakan tapi sebaliknya ditelantarkan,” orang tua itu berhenti berbicara lalu meneguk lagi air tehnya.

Dia terbatuk-batuk lalu menyambung kata-katanya lagi. Faris terdiam mendengar pembicaraannya. “Negara kita semakin terpuruk bukan karena orang lain tetapi karena kebodohan Negara itu sendiri, tak ada kejujuran, tak ada keadilan. Orang
Indonesia lebih suka menginjak-injak sesama untuk memperoleh suatu jabatan daripada berusaha sendiri. Hal ini sudah terjadi sejak dahulu. Bukan baru sekarang saja Anak Muda. Jika hal ini tak dilakukan, mungkin korupsi tak akan merajalela dikalangan pejabat. Mungkin kebudayaan kita tak akan direbut oleh Negara lain. Karena Pemimpin kita tak ingin turun langsung melihat kondisi yang sesunguhnya tetapi lebih yakin dengan kata-kata orang kepercayaannya yang tamak akan pangkat dan harta,”
Orang tua itu berhenti berbicara lalu menghabiskan air tehnya.

Faris tidak dapat mengucapkan apa-apa dia hanya bisa diam seribu bahasa mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut kakek tua tersebut, seakan kata-katanya itu keluar dari seorang yang pernah hidup dan merasakan manis pahitnya kursi pemerintahan. Walau bagaimanapun, Faris tahu, kata-kata kakek tua itu sangat benar sekali. Dia merasa bahwa nasihat kakek tua itu sangat berguna. Dia berharap bisa berjumpa dan bercakap-cakap lagi dengan kakek tua itu di lain waktu. kakek tua itu meletakkan cangkir bekas minumannya di atas meja lalu memandang kearah langit.

“Hari sudah makin larut, Anak Muda. Pergilah kau pulang.” Kakek tua itu berkata sambil menahan tangannya ke atas meja untuk berdiri.

“Kakek, bolehkah saya bertemu lagi dengan kakek? Saya ingin ngobrol-ngobrol lagi dengan kakek jika ada waktu. “Oh iya Siapa nama kakek?” tanya Faris

”Ki Hajar,” jawab kakek tua itu dengan ringkas.

“Kek ! tunggu sebentar, bolehkah saya minta alamat Kakek ?”. kalau kakek tak keberatan saya ingin bersilaturahmi kerumah kakek”.

Faris menunduk, mengambil tasnya lalu mengeluarkan sebuah pulpen dan kertas untuk menulis alamat Pak Hajar tadi, tetapi tanpa diduga kakek tua itu sudah hilang dari pandangannya dengan sekejap, Faris kembali ke posisi duduknya. Faris menoleh kiri dan kanan tetapi tidak juga melihat kakek tua itu. Gelas bekas minuman kakek tua itu juga turut menghilang.

Faris berjalan ketempat ibu penjual minuman lalu menanyakan kepada ibu tersebut mungkin dia tahu ke mana arah kakek tua itu pergi tetapi ibu itu mengatakan bahwa dia tidak melihat siapapun singgah di warungnya melainkan Faris sendiri. Faris terdiam sambil menarik nafas dan mengucapkan “Subhanallah”.

Keesokan harinya, ketika Faris berjalan menuju kamar mandi sekolah, dia mendengar percakapan dua siswanya dibelakang kelas. Kemudian Faris bersembunyi di balik daun pintu untuk mendengarkan percakapan mereka.

“Hei, kali ini, aku akan ambil buku TIK si Ahmad , dan ku robek PR yang sudah dibuatnya semalam. Nanti, kalau Pak Faris periksa, dan mendapatkan PRnya itu tak ada, Pak Faris tentu akan marahi si Ahmad sebab tak buat Pekerjaan Rumah,” Heri menggelengkan kepala mendengarkan semua rencana jelek Ridwan.

‘Sudah cukup Rid, jangan kamu jaili lagi si Ahmad kasian dia. Kalau mau bergurau jangan terlalu berlebihan dong. Kemaren saja untung Pak Faris masih berbaik hati tidak melaporkannya kepada kepala sekolah, kalau tidak si Ahmad pasti sudah dihukum, padahal kamu yang menyimpan rokok itu di tasnya si Ahmad . Terus hari kemarinya, si Ahmad di hukum pakai rotan oleh pak Faris. Karena ulahmu juga mengambil uang teman-teman, waktu mereka pergi praktek pelajaran olah raga dan kamu taruh uang-uang itu di tasnya si Ahmad. Langsung pak Faris pukul kedua tangannya si Ahmad karena menyangka dia yang mencuri. Kasihan dia.” Heri coba nasehatin Ridwan supaya kawannya itu berhenti menganiaya Ahmad.

Ridwan, dengan muka yang geram, berkata kepada Heri, “Aku memang sakit hati dengan si Ahmad itu. Aku ingin dia dikeluarkan dari sekolah. Selama ada dia aku tak bisa jadi yang terbaik. Hampir setiap pelajaran, dia yang lebih dahulu dalam segala hal. Aku gak akan berhenti sampai dia dikeluarkan dari sekolah!”

“Ridwan! Gak baik kau berbuat seperti itu. Ahmad gak pernah nyusahin kamu!” Heri seakan memarahi Ridwan.

“Ridwan! Heri!” teriak Faris.

“Pak Faris!” sahut Ridwan dan Heri yang terkejut melihat guru mereka.

“Temui Bapak dikantor sehabis sekolah. Bapak perlu bicara dengan kalian berdua!”

Faris bergegas dari tempat dia berdiri dengan langkah yang keras. Di dalam hatinya, dia berbisik, “Aku akan mendidik mereka agar mereka berusaha sendiri jika mereka ingin maju dan bukan dengan menginjak-injak orang lain. Inilah janjiku. Aku berjanji, Pak Hajar.”

Wajah Ki Hajar terbayang oleh Faris…………………………….